Aksi korporasi reverse stock split (selanjutnya kita singkat saja jadi RSS) merupakan aksi korporasi yang dilakukan perusahaan dengan cara "menggabungkan" harga saham, sehingga harga saham menjadi lebih tinggi (secara nominal), dan jumlah saham beredar menjadi lebih sedikit.
Untuk contoh detail RSS itu seperti apa, dan tujuan perusahaan melakukan RSS, anda bisa baca lagi pos saya disini: Reverse Stock Split di Bursa Saham.
RSS biasanya dilakukan oleh perusahaan yang sahamnya turun terus sampai mencapai harga batas terendah maksimal yaitu gocap alias Rp50 per saham. Kalau anda perhatikan, hampir setiap pengumuman RSS perusahaan2 yang sahamnya di harga gocap, selalu menuai protes dari investor ritel.
Beberapa contohnya yang sempat ramai yaitu saham ELTY (harga sahamnya Rp50), saat itu menuai kecaman banyak investor ritel karena RSS ELTY dinilai tidak layak. Kinerja fundamental ELTY yang sedang jelek mendapat banyak protes investor untuk tidak melakukan RSS.
Contoh lainnya, saham CNKO, ARTI, UNSP yang pernah melakukan RSS dan banyak mendapatkan protes dari investor ritel.
Saham2 yang berada di harga Rp50 sekilas tampak sudah murah. Hal ini karena saham tersebut sudah berada di batas terendah. Tetapi sebenarnya banyak investor yang masih ingin menjual saham tersebut, dan sedikit sekali yang mau membeli.
Artinya, kalau batas bawah Rp50 tersebut dilepas suatu saham bisa turun lagi sampai nggak ada harganya. Jadi, saham2 yang harganya sudah di Rp50 sebenarnya masih dinilai mahal oleh investor.
Di satu sisi, kalau anda perhatikan mayoritas perusahaan yang melakukan RSS di harga Rp50, perusahaan selalu membukukan kerugian (rugi bersih) di laporan keuangannya. Salah satu contohnya, saham UNSP yang pernah melakukan RSS. Berikut laporan laba rugi UNSP sebelum RSS dilaksanakan:
Laporan keuangan UNSP |
Jadi RSS yang dilakukan perusahaan dengan tujuan agar harga saham tidak terkasan "murahan", sebenarnya RSS saham2 gocap ini justru tidak mencerminkan:
- Valuasi saham yang sesungguhnya (saham tersebut di harga Rp50 sebenarnya masih mahal, dan banyak sekali investor yang ingin jual)
- Kinerja fundamental perusahaan
Oleh karena itu, tidak heran jika setelah saham melakukan RSS, harganya akan turun drastis, karena dari sisi nilai perusahaan, penurunan harga saham itulah yang sebenarnya mencerminkan nilai fundamental perusahaan.
Katakanlah saham A adalah saham gocap dan melakukan RSS 20:1. Maka harga sahamnya setelah RSS akan menjadi Rp1.000 (Rp50 x 20). Setelah RSS, saham A turun lagi menjadi Rp400 per saham dalam waktu 2 minggu. Maka, harga Rp400 inilah yang sebenarnya lebih mencerminkan nilai fundamentalnya, bukan harga setelah RSS (Rp1.000).
Sekarang kita coba lihat beberapa historis saham yang pernah melakukan RSS di harga Rp50. UNSP yang pasca RSS harganya jatuh dari Rp500 ke Rp258. Kemudian, BNBR yang RSS 10:1, dari harga Rp500 jatuh ke Rp70. Saham ENRG yang RSS 8:1, dari Rp400 jatuh ke Rp145. FREN yang RSS 20:1 ke harga 1.000, hanya dalam 3 hari harganya sahamnya turun ke 110-an.
Dari banyak emiten yang melakukan RSS (sahamnya di harga Rp50), mayoritas sahamnya akan turun lagi dalam waktu cepat pasca RSS, karena banyak para trader yang sebelumnya sudah ingin menjual sahamnya saat harganya masih Rp50.
Dan banyak bandar yang menjual saham dalam jumlah besar pasca RSS, untuk kemudian harganya digoreng lagi, meskipun harganya tidak melebihi harga awal RSS-nya.
Karena dari sisi investor dan trader, RSS ini jauh lebih merugikan. Kalau pasca RSS, harga saham langsung turun drastis, otomatis nilai saham anda akan turun, dan floating loss anda akan sangat besar.
Jadi kalau anda menemukan saham2 gocap yang kinerjanya tidak terlalu baik dan mau melakukan RSS, maka hindarilah saham2 seperti itu. Meskipun harganya terkesan sudah "murah", tetapi banyak permainan bandar yang menjebak investor ritel pasca RSS tersebut.
RSS yang seringkali dilakukan oleh perusahaan, salah satunya juga bertujuan untuk restrukturisasi utang. Apa maksudnya? Kita akan bahas di pos selanjutnya.. Coming soon.